Rabu, 29 November 2017

Zaman Berubah, Tantangan Bertambah

Zaman Berubah, Tantangan Bertambah
Oleh: Syahruni Syam


Jika ditanya tentang cita-cita ketika kita masih kecil, sebagian besar akan menjawab profesi-profesi yang seragamnya bagus seperti tentara, polisi, dokter, perawat, atau guru. Jawaban beragam mungkin akan kita temui pada anak-anak yang ingin menjadi seperti orang tuanya yang berprofesi sebagai pengusaha, pengacara, atau mungkin konsultan. Saya berbeda. Saat masih duduk di bangku SD, ketika saya sudah mengerti tentang cita-cita (waktu itu sekitar kelas V SD) saya tidak akan latah dengan jawaban teman-teman yang sebagian besar menyatakan ingin menjadi dokter atau guru. Cita-cita masa kecil saya selalu ditertawakan oleh orang yang mendengarnya karena memang terkesan agak (sebenarnya sangat) mustahil . Saya ingin menjadi astronot. :D
Bermula dari buku-buku tentang tata surya dan alam semesta yang saya baca di perpustakaan sekolah. Tentang keindahan benda-benda langit, alam semesta, konstalasi bintang-bintang dan semua yang berhubungan dengan alam semesta. Serta pembelajaran Tata Surya dalam Mata Pelajaran IPA di Kelas VI. Ditambah lagi, hampir setiap malam, ketika langit cerah saya sering duduk di teras rumah bersama Bapak. Almarhum Bapak dulu memberitahukan nama-nama rasi bintang dalam “bahasa petani”. Menurut beliau rasi bintang tertentu menjadi pertanda dimulainya masa tanam, rasi bintang yang lain menunjukkan datangnya masa panen, dan masih banyak lagi ‘pertanda langit’ yang beliau jelaskan dan kaitannya dengan kehidupan manusia. Hal ini menambah ketertarikan saya mempelajari alam semesta.
Lalu, seiring dengan perputaran waktu. Ketika otak sudah lebih rasional berpikir. lebih realistis memandang hidup dan kehidupan, kukubur jauh-jauh cita-cita ‘aneh’ menjadi astronot itu. Angan-angan terbang ke bulan atau tamasya ke bintang kuhapus dalam ingatan. Kecintaan pada tata surya dan teman-temannya kutuangkan dalam aksi mengamati langit, memandang bintang, mencocokkan rasi bintang di langit dengan gambar rasi bintang di buku. Dan bersama teman yang juga punya hobi sama, berdiskusi sampai berdebat tentang model rasi bintang di langit.
Ah. Lupakan soal astronot itu. Mari kembali ke dunia nyata! (seolah-olah dunia astronot adalah dunia maya :D ). Di dunia nyata profesi yang sangat kukagumi adalah guru. Saya diajaran di tempat mengaji, di TK/TPA, tentang keutamaan orang yang membagikan ilmunya. Bahwa ilmu beberapa kalipun dibagikan, pemiliknya tidak akan kehilangan, bahkan semakin mantap dan terasah. Berbeda dengan harta benda yang secara kasat mata jika diberikan kepada orang lain maka kepemilikannya akan berpindah tangan. Tak hanya pelajaran di TK/TPA, realita kehidupan juga mengajarkan bahwa sosok Guru adalah pahlawan yang layak dikagumi. Lihatlah mereka! Dari tangan-tangan hebatnya, berbagai profesi lain muncul. Presiden, dokter, insinyur, perawat, bahkan astronot serta profesi-profesi hebat lainnya takkan muncul jika mereka, para pemegang profesi itu, tidak pernah diajar oleh guru.
Melihat sosok-sosok guru yang begitu disegani, keinginan untuk menjadi Guru mulai muncul. Meski kala itu saya tidak begitu yakin mampu mewujudkannya, mengingat kondisi lingkungan kami yang remaja-remaja lulusan SMA-nya biasanya langsung menikah atau bekerja begitu menamatkan pendidikan di bangku SMA. Yang melanjutkan kuliah biasanya hanya yang orang tuanya tergolong kaya saja.
Dari sudut pandang siswa pada saat itu, saya berpikir bahwa profesi guru cukup mudah dilakukan. Guru memegang kuasa atas siswa. Guru mengajar, memberi tugas, dan memberi nilai. Siswa belajar, mengerjakan tugas, dan mendapat nilai. Siswa salah, guru menghukum (tentu dengan tujuan mendidik). Orang tua mendukung penuh keputusan guru. Bahkan jika dihukum dan melapor orang tua, sebagian besar orang tua biasanya malah menambahkan hukuman ke anak. Saya ingat wejangan orang tua saya ketika awal-awal masuk SD, begini kira-kira kata beliau “kalau gurumu menghukum dan kamu pulang melapor, awas! Hukumannya saya tambah.”
Cita-cita guru yang awalnya hanya numpang lewat. hanya menjadi ucapan di mulut ketika ditanya tentang cta-cita, akhirnya benar-benar kuperjuangkan begitu ada lampu hijau dari orang tua untuk lanjut kuliah. Menyelesaikan kuliah dengan susah payah. Mengikuti perkuliahan dengan sungguh-sungguh, mengerjakan tugas, berbaur dengan teman-teman di kampus, ikut aktif di organisasi kampus, dan tak lupa berburu beasiswa untuk meringakan beban orang tua membiayai kuliah. Perjuangan masa-masa kuliah itu berujung pada yudisium di Ahad sore 19 Februari 2012, ketika gelar Sarjana Pendidikan S.Pd. disematkan di belakang namaku. Syahruni Syam, S.Pd. Sebuah tonggak sejarah yang mengawali babak baru dalam hidupku. Sebuah akhir dari masa belajar di bangku kuliah, sekaligus awal dari perjuangan baru yang lebih berat, masa pengabdian di dunia nyata sebagai guru, pendidik anak bangsa.
Berbicara tentang salah satu peran guru, yaitu mengajar. Jauh sebelum menyelesaikan kuliah, saya pernah beberapa kali mengajar di lembaga pendidikan/sekolah formal. Pengalaman pertama adalah ketika mengajar anak Taman Kanak-Kanak yang kala itu gurunya pulang kampung. Saya bersama beberapa rekan diminta secara bergiliran mengajar di TK tersebut. Saya mengajar kurang lebih 2 minggu dan saya sampai pada sebuah kesimpulan: “saya tidak cocok mengajar anak TK”, bagaimana tidak? Kelemahlembutan dan kesabaran yang biasanya dimiliki oleh guru TK sama sekali jauh dari karakter saya.
Pengalaman mengajar di sekolah formal selanjutnya saya peroleh ketika mengikuti Bakti Ilmiah Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Matematika di Desa Cendana Putih, Palopo, Sulawesi Selatan pada Maret 2008. Salah satu program Bakti Ilmiah tersebut adalah mengajar di sekolah-sekolah di sekitar pusat lokasi kegiatan. Kami dibagi beberapa kelompok dan kelompok saya di tempatkan di SD yang terletak di pelosok dengan siswa-siswa imut-imut menggemaskan. Saya bersama 2 orang teman ditugaskan mengajar di kelas I. Siswa-siswanya berasal dari suku dan agama berbeda karena daerah tersebut adalah daerah tujuan transmigrasi.
Mengajar kelas I SD tak jauh berbeda dengan mengajar TK karena perbedaan usia mereka juga tak jauh berbeda. Mereka aktif bergerak (tanda anak-anak normal), ribut, dan tentu saja berusaha mencari perhatian. Saya cukup menikmati mengajar siswa kelas I SD dibanding anak TK. Yang menarik adalah (maaf) beberapa siswa yang entah bagaimana tampil sangat lusuh ke sekolah, pakaian seperti tak terurus dan (maaf lagi) hidung mereka beringus, mungkin musim flu karena waktu itu masih sering turun hujan, dan baju mereka kotor sepertinya bekas dipakai melap ingus. Lebih uniknya lagi, ketika siswa pulang, tradisi yang berlaku di semua sekolah adalah siswa bersalaman dan mencium tangan untuk berpamitan kepada guru. Saya berdiri di dekat pintu kelas menyambut tangan-tangan mungil mereka. Ketika sampai pada siswa yang beringus kupandang mereka sambil tersenyum, dan kusambut uluran tangannya. Memantapkan hati. Bersalaman dan siswa mencium tangan. Terasa agak aneh di punggung tanganku, ingus melengket. Tapi berusaha tak kupedulikan, toh bisa dicuci nanti. Alhamdlulillah, saya termasuk tipe orang yang tidak gampang jijik. Masih tetap tersenyum ketika berpesan ke mereka yang flu : “besok bawa saputangan ya! Supaya bajunya tidak kotor!”. Padahal sebenarnya tersirat pesan “supaya tangan gurunya tidak kena ingus”. Hehhehh.
Mereka berpamitan, tersenyum dan berkata “besok datang lagi ya Bu Guru!”. Ada yang tidak langsung pulang, tetapi tetap tinggal di sekolah mengobrol dengan kami. Mereka menanyakan lokasi posko dan bertanya apakah diizinkan mengunjungi kami di posko. Dengan mantap kami menjawab, “Tentu saja boleh, tapi harus minta izin ke orang tua”
Sore hari mereka benar-benar datang mengunjungi kami di posko, rumah penduduk tempat kami menginap. Mereka membawa rambutan dan durian (daerah tersebut adalah daerah yang terkenal sebagai penghasil rambutan dan durian). Yang datang bukan hanya siswa dari sekolah kami, tetapi teman-teman yang mengajar di sekolah lain pun mendapat kunjungan dari siswa-siswanya masing-masing. Kunjungan siswa ini memberi kesan mendalam betapa indahnya jadi guru. Disayangi dan diperhatikan.
Tahun selanjutnya, Maret 2009. HMJ Pendidikan Matematika kembali mengadakan Bakti Ilmiah. Kali ini bertempat di Kab. Mamuju, Sulawesi Barat. Lokasinya juga daerah tujuan transmigrasi. Kondisi daerah berbukit dan susah sinyal. Mandi pun di sumur milik warga di dekat kebun salak. Betul-betul perjuangan. Lokasi posko dan tempat mengajar cukup jauh, ditambah jalan menanjak dan menurun. Latihan ketahanan kaki berlangsung selama masa Bakti Ilmiah itu. Menyusuri jalan-jalan desa dengan berjalan kaki. Untuk mendapat sinyalpun harus naik ke daerah yang lebih tinggi sambil mengangkat HP di atas kepala.
Dalam bakti ilmiah kali ini, saya mendapat tugas mengajar pagi di SMP dan mengajar les sore di SD. Kondis siswa beragam. Minat belajar matematika mereka cukup besar. Trik-trik dan permainan matematika diajarkan pada siswa SMP dan SD kelas atas (IV, V, VI) agar mereka semakin semangat dan tidak bosan. Sama seperti tahun sebelumnya waktu Bakti Ilmiah, pulang mengajar, kami mendapat kunjungan dari siswa.
Maret 2010, kembali saya mengikuti kegiatan Bakti Ilmiah. Berlokasi di Belawa Kab Wajo, Sulawesi Selatan. Berbeda dengan lokasi bakti ilmiah 2 tahun sbelumnya, kali ini lokasinya cukup “bersahabat”. Sinyal bagus, jalanan beraspal, angkutan umum tersedia. Tempat tugas mengajar kali ini di dua SMP, SMP Muhammadiyah dan SMP Negeri 1 Belawa. Pagi mengajar matematika di kelas, siang mengajar les, sore dikunjungi siswa di posko. Kegiatan sore biasanya diisi dengan acara makan mangga di bawah pohon mangga di pekarangan SD di dekat posko kami. Keakraban terjalin. Ditambah lagi, kami tidak hanya bertemu di dunia nyata, tetapi juga berteman di facebook. Tahun 2010, perkembangan internet dan media sosial sudah semakin pesat. Hingga kini, komunikasi dengan beberapa siswa yang pernah saya ajar di Belawa 6 tahun silam masih terjalin.
Pengalaman menjadi guru dalam bakti Ilmiah yang biasanya berlangsung hanya 3 sampai 4 hari setiap periode bakti Ilmiah benar-benar kunikmati. Peran sebagai guru begitu berarti. Pengalaman bertambah dan mendapat lebih banyak teman dari kalangan siswa.
Praktek Pengamalan Lapangan (PPL) yang kujalani pada September – Nopember 2010 menambah daftar “praktek” mengajar dalam sejarah mengajarku. Ditempatkan di salah satu sekolah favorit di kota kabupaten tempat tinggalku, saya ditugaskan mengajar di kelas XI IPS 3 yang konon katanya merupakan kelas paling ‘wah’ untuk tingkatan kelas XI. Tantangan mengajar mulai terasa. Siswa-siswa yang saya hadapi berbeda dengan siswa-siswa pada masa bakti ilmiah. Mereka lebih cerewet dan sepertinya lebih sulit diatur. Penghargaan mereka kepada mahasiswa yang praktik mengajar di sekolahnya sepertinya kurang. Dalam pembelajaran, ada yang kadang-kadang seenaknya minta izin keluar dan tak kembali sampai jam pelajaran berakhir. Ditambah lagi kewajiban membuat perangkat pembelajaran (RPP) sebelum mengajar menambah panjang daftar “penderitaan”.
Jadwal mengajar kala itu 3 kali seminggu. Awalnya berusaha kunikmati dengan kondisi kelas yang berusaha kubuat senyaman mungkin untuk berlangsungnya proses PBM, berjuang merebut hati siswa dan membuat mereka menyukai matematika. Usaha saya membuahkan hasil. Ada yang mulai terbuka bercerita tentang kebiasaannya meninggalkan kelas saat PBM berlangsung karena tidak nyaman dengan kondisi kelas atau sedang ada masalah keluarga. Ada yang bercerita tentang keinginannya mengenakan hijab ke sekolah, tetapi hatinya belum mantap. Kesempatan ini kugunakan untuk menjelaskan kepadanya tentang keutamaan hijab yang kuketahui serta hubungannya dengan kemantapan hati. Alhamdulillah sebelum masa PPL berakhir, siswa tersebut telah mengenakan hijab ke sekolah.
Mengajar anak SMA sangat berbeda dengan mengajar bocah-bocah SD dan SMP ketika masa Bakti Ilmiah. Kondisi lingkungan yang berbeda juga berpengaruh. Anak-anak yang tinggal di daerah terpencil cenderung memberikan penghargaan yang lebih tinggi kepada mahasiswa pengganti guru mereka dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di kota besar. Hal ini juga sepertinya terjadi pada orang tua mereka. Pada masa PPL kami di sekolah favorit tersebut, ada orang tua siswa yang mengajukan protes ke pihak sekolah karena tak terima anaknya diajar oleh guru-guru PPL (mahasiswa yang parktik mengajar). Pada masa itu, dalam waktu bersamaan tiga universitas terkenal di Makassar menemptakan mahasiswanya PPL di sekolah tersebut, sehingga hampir semua kelas diajar oleh mahasiswa yang praktik mengajar.
Lepas masa PPL, pengalaman praktik mengajar kembali kudapat dalam program P2K (Pemantapan Profesi Keguruan) pada April – Juni 2011. Sebuah program pengganti KKN. Saya bersama beberapa teman ditempatkan di salah satu SMP di kota Sungguminasa yang lokasinya tidak jauh dengan tempat PPL saya. Kondisi siswa dan pengalaman mengajar tak jauh berbeda dengan masa PPL. Siswanya juga gemar curhat. Ada yang bercerita tentang sahabatnya, keluarganya, bahkan pertengkarannya dengan pacarnya. Peran sebagai guru benar-benar multifungsi. Tak hanya mengajar, tetapi juga harus siap menjadi pendengar setia cerita dan keluh kesah siswa, serta memberikan solusi atas permasalahan mereka.
Pengalaman mengajar yang sebenarnya, (tak lagi menjadi wakil/pengganti guru di kelas) benar-benar kurasakan ketika untuk pertama kalinya saya diterima menjadi guru matematika di SD dan MTs pada 11 Juli 2011. Waktu itu saya masih berstatus mahasiswa tingkat akhir, dalam kesibukan menyusun proposal penelitian. Tanggung jawab penuh atas siswa. Membuat perangkat pembelajaran, melaksananakn tugas mengajar dan mendidik siswa, serta berbaur dengan masyarakat di sekitar lingkungan sekolah. Tantangannya benar-benar terasa. Siswa SD yang saya ajar hampir 50 % berasal dari panti asuhan. Mereka berasal dari 3 panti asuhan berbeda. Buku-buku pelajarannya (maaf) tidak teratur. Aturan guru untuk memisahkan buku catatan dan buku tugas tak diindahkan. Bahkan ada yang bukunya mengikuti slogan salah satu TV swasta di Indonesia “Satu untuk semua”. Ketika ditegur, kadang-kadang mereka hanya tersenyum malu-malu dan menjawab “belum dibelikan sama Ibu Panti, Bu”. Ketika Pengurus pantinya diundang ke sekolah untuk membicarakan masalah anak-anak asuhnya pun, mereka jarang sekali hadir.
Saya dikejutkan pada sebuah kejadian di suatu pagi ketika saya mengajar matematika di kelas V. Ketika menjelaskan materi pelajaran, seorang Ibu nyelonong masuk kelas dan berteriak kepada salah satu siswa di kelas. Saya yang tidak mengerti masalah langsung kaget. Ibu itu berteriak tanpa spasi mencecar siswa yang dari pembicaraannya saya menangkap siswa tersebut berselisish dengan anaknya. Saya mencoba menjelasakan kepada Ibu itu untuk bersabar dan membicarakan masalah ini secara baik-baik dengan wali kelasnya. Tetapi saya sepertinya tak dipedulikan. Agar tidak memperpanjang masalah, saya melaporkan kejadian tersebut kepada wali kelasnya. Dalam hati saya sedikit tersinggung dengan kelakuan Ibu tadi. Bagaimana mungkin, orang tua yang katanya berpendidikan, lulusan S1, masuk kelas tanpa permisi kepada guru yang mengajar. Saya membandingkan dengan masa sekolah dulu. Jika kami berselisih dengan teman di sekolah dan ada yang melapor ke orang tua, dengan bijak orang tua malah berkata :”kalau masalah di sekolah laporkan ke guru”.
Kejadian yang hampir sama terjadi beberapa bulan kemudian. Kala itu, salah satu siswa kelas VI dihukum oleh wali kelasnya berdiri di depan kelas di bawah terik matahari pagi karena tidak mengerjakan PR. Ibunya yang pada saat itu kebetulan menjemput adik sang siswa melihat kejadian tersebut dan merasa keberatan. Tanpa ba bi bu, ibu siswa tersebut yang juga merupakan salah satu guru di MTs mendatangi wali kelas anaknya dan melontarkan kata-kata pedas yang menurut saya tidak layak diterima oleh guru.
Miris. Jika membandingkan bagaimana guru diperlakukan di masa lalu dengan masa kini, sungguh sangat berbeda. Guru kami dulu begitu dihormati dan disegani. Tidak ada ceritanya orang tua siswa yang datang ke sekolah mengata-ngatai guru karena menghukum anaknya. Mungkin ada, tapi hanya 1 dari sekian kemungkinan. Zaman sekarang, siswa sepertinya memang punya mental ‘pengadu”. Dan parahnya lagi sebagian orang tua, biasanya menanggapi aduan anaknya dengan mendatangi guru di sekolah untuk “menuntut balas’.
Beberapa kasus belakangan ini yang menambah suram sejarah pendidikan dan cerita guru adalah maraknya kasus orang tua melaporkan guru ke polisi karena hukuman yang diberikan guru ke siswa dengan maksud mendidik. Ada lagi kasus orang tua yang mendatangi guru anaknya, bermaksud menuntut balas, hanya karena anaknya yang berambut gondrong dicukur. Parahnya lagi, orang tua yang melakukan aksi-aksi tersebut adalah mereka yang sebenarnya punya pendidikan tinggi yang diharapkan mampu bersikap rasional dalam menghadapi permasalahn anaknya.
Peran guru yang begitu mulia sepertinya tak lagi begitu dihargai. Guru kadang dihadapkan pada pilihan sulit. Keinginan untuk mendisiplinkan anak dengan hukuman yang mendidik tetapi dibayangi oleh rasa takut mendapat tanggapan negatif dari orang tua siswa. Hal ini yang kadang membuatt sebagian guru menjadi cuek terhadap proses pendidikan dan perkembangan siswa.
Meski demikian, meski tantangan dunia pendidikan semakin beragam, meski peran sebagai guru semakin tak memiliki arti di mata masyarakat, meski peran kita kadang disepelekan, disalah-salahkan untuk sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahan kita sebagai pendidik, tetaplah bangga dengan profesi mulia yang kita jalani. Peran kita mendidik anak bangsa di dunia ini mungkin mendapat imbalan tak seberapa, apalagi yang berstatus honorer, gajian hari ini besok tinggal kenangan (Abu, Uang Panai: 2016). Tapi ingat janji Allah. Ilmu yang kita wariskan kepada anak didik, nasihat-nasihat pengantar dalam pembelajaran, selagi masih dimanfaatkan oleh mereka tetap akan bernilai pahala bagi kita. Insya Allah. Selalu lah yakini hadits Nabi

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Semoga profesi kita sebagai guru, tugas kita mendidik anak bangsa mendapat balasan indah dari Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar